Tata Hukum di Indonesia dan Sejarahnya
Tata Hukum di Indonesia
Tata Hukum
merupakan susunan-susunan hukum untuk memudahkan masyarakat dalam menemukan hukum.
sejalan dengan itu, Mokhammad Najih dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia
‘Sejarah, Konsep Tata Hukum, dan Politik Hukum Indonesia’ Edisi Revisi
berpendapat bahwa "tata hukum yang sah dan berlaku pada waktu tertentu dan
di negara tertentu maka dinamakan hukum positif (Ius Constitutum). Sedangkan
tata hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang maka dinamakan
Ius Constituendum".
Dalam sebuah
Tata Hukum, terdapat peristiwa hukum dimana Peristiwa hukum adalah peristiwa
yang diatur oleh hukum yang berlaku saat ini yang menimbulkan suatu akibat
hukum, jadi dapat dikatakan bahwa peristiwa nonhukum adalah peristiwa yang tidak
menimbulkan akibat hukum.
Contoh peristiwa
hukum adalah ketika A (Pria) dan B (Wanita) melakukan perzinahan diluar nikah.
Ketika A dan melakukan hubungan badan, A
masih terikat hubungan pernikahan dengan C (Wanita). Dikatakan peristiwa hukum
karena mengacu pada Pasal 27 Ayat 1 KUH Perdata “Pada waktu yang sama, seorang
lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan
seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.” Dan mengacu pada pasal
284 Ayat 1 KUH Perdata “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan” Ayat 1.a “Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel)
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya”. Jadi dapat dikatakan bahwa aturan hukum yang
berlaku merujuk pada Pasal 27 Ayat 1 KUH Perdata dan akibat hukumnya merujuk
pada Pasal 284 Ayat 1.a KUH Perdata.
Sedangkan contoh
peristiwa nonhukum adalah ketika A (Pria) dan B (Wanita) melakukan hubungan
badan atau zinah tetapi keduanya belum terikat dengan perkawinan dengan
siapapun. Mengapa dikatakan peristiwa nonhukum? Karena dalam peristiwa tersebut
tidak ada aturan hukum yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.
Namun terdapat kemungkinan dalam lingkungan pelaku akan terkena hukuman moral /
mental dari masyarakat sekitar (lingkungan).
Sejarah Tata Hukum di Indonesia
Cekli Setya
Pratiwi, S.H.,LL.M.,M.CL berpendapat bahwa tata Hukum di Indonesia sendiri
merupakan adopsi daripada Tata Hukum Kolonial Belanda yang pada saat itu
menjajah Indonesia. Mengapa bisa demikian? Karena pada saat Indonesia merdeka
17 Agustus 1945 merupakan detik lahirnya Tata Hukum Nasional yang pada saat itu
Indonesia sendiri belum cukup memiliki Produk Hukum sehingga Indonesia masih
menggunakan Produk-Produk Hukum Kolonial. Dari situlah lahir ketentuan UUD 1945
sebelum Amandemen yang dinyatakan dalam Pasal 2 Aturan peralihan UUD 1945
sebelum amandemen dimana semua badan atau lembaga dan peraturan yang ada masih
dapat berlaku sepanjang belum diganti menurut UUD 1945. selain itu, terdapat
asas hukum yang digunakan, asas tersebut adalah asas konkordansi dimana
hukum-hukum yang berlaku pada masa penjajahan kemudian diambil oper dan
diberlakukan diseluruh wilayah Hindia Belanda yaitu bekas jajahan Belanda.
Produk Hukum
Kolonial yang masih digunakan contohnya seperti Burgerlijk Wetboek (BW) atau
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, Wetboek van Strafrecht (WvS) atau penalkot atau
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Fase Pra Kolonial
Pada masa
sebelum masuknya kolonial dimana Indonesia masih bernama nusantara, hukum yang
ada masih bersifat kewilayahan. Hal itu dikarenakan hukum yang ada bergantung
pada kekuasaan kerajaan hingga batas wilayahnya dan terus melakukan
perkembangan. Tata hukum kerajaan satu dengan lainnya memiliki perbedaan dan
mengakibatkan tata hukum pada fase pra kolonial sangatlah beragam.
Fase Kolonial
Pada masa
kolonialisme yang berlangsung selama 3,5 abad itu lebih menitikberatkan pada
preservasi (rust en orde) dan konservasi demi kekuasaan ekonomi Belanda dan
bukan untuk kepentingan rakyat yang mana rust en orde tersebut mengakibatkan
pemerintahan Belanda menerapkan unifikasi hukum.
1. Masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
1602-1799
Tujuan utama VOC
dibuat pada tahun 1602 adalah supaya tidak terjadi persaingan antar pedagang
yang sama-sama membeli rempah-rempah dari pribumi guna memperoleh keutungan
sebesar-besarnya. VOC memiliki hak-hak istimewa seperti hak monopoli pelayaran
dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, hak
mengumumkan perang, hak mengadakan perdamaian, dan hak mencetak uang. Cekli
Setya Pratiwi, S.H.,LL.M.,M.CL berpendapat bahwa VOC lebih mementingkan
perdagangan dan memperoleh keuntungan yang besar daripada membuat tatanan hukum
di Indonesia. Pada tahun 1760, Freijer berhasil membuat Kitab Hukum
(Kompendium) yang hanya berisi aturan perkawinan dan waris Islam.
2. Masa Pemerintah Hindia Belanda 1800-1942
VOC diambil alih
oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1800 dan berubah menjadi
Koninklijk Holand dimana sejak saat itu masyarakat mengikuti pedoman pemerintah
serta hukum dari negara Belanda. Se
telah itu,
Daendels yang menjabat sebagai Gubernur Jendral akhirnya digantikan oleh
Jansens pada tahun 1811, namun pada tahun yang sama nusantara dikuasai oleh
Inggris dan mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur yang
dalam masa jabatannya membebani rakyat dengan pajak bumi (landrente).
Konvensi London
yang terjadi pada tahun 1814 memiliki hasil yang mana Inggris menyerahkan
kembali nusantara kepada pihak Belanda pada tahun 1816. Hal itu mengakibatkan
tata pemerintahan diperbaiki dan perundang-undangan dibagi menjadi 3 masa
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Masa Besluiten Regerings
1814-1855
2. Masa Regerings Reglement
1855-1926 (Peraturan Pemerintah)
3. Masa Indische
Staatregeling 1926-1942 (Konstitusi Hindia Belanda)
3. Masa Balatentara Jepang 1942-1945
Cekli Setya
Pratiwi, S.H.,LL.M.,M.CL berpendapat bahwa pada masa penjajahan Jepang tidak
ada perubahan yang signifikan dalam bidang hukum di Indonesia. Jadi hukum-hukum
Belanda yang berlaku tidak berubah pada masa penjajahan Jepang. Jepang lebih
berfokus pada mobilisasi penduduk untuk kepentingan Jepang yang pada saat
Perang Dunia 2. Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 merupakan produk hukum yang
penting pada masa penjajahan Jepang dimana didalamnya mengatur aturan peralihan
yang mengakibatkan peraturan-peraturan hukum Belanda masih berlaku, hal itu merupakan
dasar mengapa pada masa penjajahan Jepang tidak mengalami perubahan.
Fase Kemerdekaan
Kekalahan Jepang pada perang
Asia Timur Raya pada 14 Agustus 1945 meenjadi langkah awal kemerdekaan
Indonesia yang pada saat itu Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu
dan Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selama
kemerdekaan Indonesia yang dalam ketentuan UUD 1945 yang memiliki batang tubuh
16 Bab dan 37 pasal telah memberikan rumusan politik hukum Indonesia yang
merdeka.
Masa Orde Lama
Soerkarno sebagai Presiden dan
Moh.Hatta sebagai Wakil Presiden yang dipilih secara aklamasi oleh PPKI
bersamaan dengan penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 atau satu hari
setelah dibacakannya Proklamasi adalah awal mula terbentuknya tata hukum
nasional. Tata hukum pada saat itu masih berupa subsistem daripada hukum islam,
hukum adat, dan juga hukum barat.
Mengapa bisa dikatakan seperti itu?
Mokhammad Najih dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia ‘Sejarah, Konsep Tata
Hukum, dan Politik Hukum Indonesia’ Edisi Revisi berpendapat bahwa perangkat
kaedah hukum islam yang dalam tata hukum Hindia Belanda berlaku sebagai Hukum
Positif bagi golongan pribumi yang beragama Islam dan yang telah disamakan,
baik melalui resepsi ke dalam hukum adat maupun karena penetapan aturan
perundang-undangan Hindia Belanda. Lalu yang dimaksud subsistem hukum barat
adalah perangkat hukum yang berlaku bagi golongan Eropa yang telah disamakan,
yaitu semua peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang terbentuk pada
masa pemerintahan Hindia Belanda.
Dinamika politik pada masa orde lama
dalam menjalankan UUD 1945 menemukan pasang surutnya, dimana politik hukum
pemerintah dapat diklasifikasikan pada tiga periode penerapan masa kebijakan
politik hukum, yaitu Periode 1945-1950, Periode 1950-1959, dan Periode 1959-1965.
Pada periode 1945-1950 terjadi perubahan penting dalam bidang penyelenggaraan
hukum, yaitu penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan ke Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang terkandung dalam UU Nomor 19
Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
Lalu pada periode 1950-1959 pemerintah berhasil membuat sejumlah peraturan
perundang-undangan, dalam UU Darurat Nomor1 Tahun 1951 kedudukan hakim disetarakan dengan kedudukan penuntuk umum.
Dan periode terakhir 1959-1965 adalah periode dimana lahirna gagasan demokrasi
terpimpin setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dimana Demokrasi
Terpimpin merupakan usaha pemerintah untuk mengatasi pertentangan ideologi
serta untuk menyelesaikan revolusi yang dalam praktik nya lebih menjurus pada
pola kehidupan yang semakin otoriter.
Masa Orde Baru
Cekli Setya Pratiwi, S.H.,LL.M.,M.CL
berpendapat bahwa masa orde baru adalah masa pemerintahan presiden Soeharto
setelah Presiden Soekarno dan dimulai setelah kudeta G30S PKI 1945."
Pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto ditandai dengan
dikeluarkannya surat pemerintahan Sebelas Maret (Supersemar) Pada tahun 1966
oleh Soeharto mengenai rencana pembangunan jangka panjang pertama yaitu RPJP 1
(1969) dengan rencana pembangunan lima tahun atau yang disebut dengan Repelita.
Titik kebijakan RPJP 1 menitikberatkan pada pembangunan ekonomi untuk
stabilitas ekonomi yang sebelumnya merosot sampai dengan 600% akibat inflasi
titik kebijakan yang ditetapkan yaitu melalui garis garis besar haluan negara
(GBHN) yang dirumuskan melalui trilogi pembangunan:
1. Pemerataan pembangunan
dan usaha-udaha menuju kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia
2. Pertumbuhan eko nomi yang cukup
tinggi
3. Stabilitas nasional yang
sehat dan dinamis
Mokhammad Najih
dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia ‘Sejarah, Konsep Tata Hukum, dan
Politik Hukum Indonesia’ Edisi Revisi berpendapat bahwa dengan mengacu pada
Trilogi Pembangunan dengan prioritas pembangunan ekonomi dan stabilitas
politik, sejak GBHN 1973 sampai dengan GBHN 1993 sasarannya ada pada empat
bidang, yaitu:
1. Bidang ekonomi
2. Bidang agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sosial budaya
3. Bidang politik, aparatur pemerintah, hukum dan
hubungan luar negeri
4. Bidang pertahanan
keamanan nasional
Namun dalam
jangka waktu 1993-1997 terjadi perubahan paradigma politik, tatanan hukum
dikeluarkan dari subordinat tatanan politik dan berdiri sendiri secara mandiri.
GBHN 1993-1998 merubah pandangan tatanan hukum yang awalnya merupakan subsistem
tatanan politik menjadi tatanan yang mandiri. Hal tersebut mengacu pada MPR
yang mengeluarkan Ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor 2 Tahun 1993 mengganti Bidang pembangunan yang awalnya
hanya 4 bidang menjadi 7 bidang, dan dalam Tap MPR tersebut tatanan hukum
berdiri sendiri secara mandiri atau keluar dari subordinat tatanan politik.
Mengacu pada Tap
MPR Nomor 20 Tahun 1966, tata urutan
perundang-undangan di Indonesia yang pada saat itu adalah masa orde baru
adalah; Pertama (1) Undang-Undang Dasar 1945. Kedua (2) Ketetapan MPR (Tap
MPR). Ketiga (3) Undang-Undang /
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Keempat (4)
Peraturan Pemerintah (PP). Kelima (5) Keputusan Pemerintah. Keenam (6)
Peraturan Pelaksanaan Lainnya seperti intruksi menteri dan lain-lain.
Masa Reformasi
Cekli Setya
Pratiwi, S.H.,LL.M.,M.CL berpendapat bahwa Orde Reformasi dimulai saat Pemerintahan Soeharto
dilengserkan oleh gerakan reformasi pada tahun 1998 yang dipelopori oleh
mahasiswa dan cendekiawan Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang
dilakukan oleh MPR melalui amandemen sebagai arah kebijakan politik hukum. Pada
masa orde baru Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 16 Bab dan 37 Pasal.
Setelah amandemen, terjadi perubahan yaitu 20 butir Pasal tetap, 43 butir Pasal
diubah,dan 128 Pasal tambahanyang baru. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa
dengan adanya amandemen peraturan pun semakin diperketat dan diperinci.
Sumber:
https://youtu.be/4RjR7sJhi34
https://youtu.be/vdgrva1ZTks
https://youtu.be/6L_hQrsTNco
https://pasalkuhp.blogspot.com/2016/12/kuh-perdata-pasal-26-pasal-27-pasal-28.html
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4ebcabd79244c/apakah-hubungan-badan-pasangan-remaja-yang-belum-menikah-termasuk-perzinahan-/
Najih, Mokhammad. Soimin.
2014. Buku Pengantar Hukum Indonesia ‘Sejarah, Konsep Tata Hukum, dan Politik
Hukum Indonesia’ Edisi Revisi. Malang: Setara Press.
Komentar
Posting Komentar